Entri Populer

Sabtu, 27 Agustus 2011

Esai: Ada Ruh Yang Bergerak Dinamis

oleh Mahbub Junaedi pada 26 Agustus 2011 jam 22:18

 
Merujuk saat mengkhusukkan diri menulis puisi, maka kebebasan ini seperti tak berbatas. Proses kreatif  berjalan dengan melenggang seperti melucuti beban yang mengganjal. Bermain dengan kata-kata yang mengasyikkan, memilah-milahnya menjadi padu padan meng’indah’kan jagad alam perpuisian itu sendiri. Ada  ruh yang bergerak dinamis memenuhi relung-relung kosong untuk bisa terisi oleh sesuatu yang membutuhkan dorongan yang sangat kuat. Selagi ruh itu tak mati, imaji akan terus bergerak mencari sarana yang menempati  ruang mediasinya. Ada gagasan mencuat untuk dijabarkan dengan segudang kata dalam bait-bait. Menterjemahkan impuls atau desakan hati dengan tindakan dan mengolah kembali dalam kalimat yang sarat makna.

saat proses sedang berlangsung, maka akan ada kebutuhan untuk  pemenuhannya dan akan tertuang pada wadah yang tepat. Wadah yang bisa mewakili segenap pergulatan batin ini menjadi suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi, agar dapat dibaca untuk memperkaya nuansa batin yang tadinya kosong dan hambar. Dahaga yang merindukan kejernihan dan siraman yang menyejukkan, dan merupakan media yang menjadi katarsis atau perasaan terharu sehingga segala upaya menjadi tersampaikan pada sidang pembaca dan penikmat dengan segala atribut penyampaiannya.

Mengingat bahwa pergulatan batin ini seperti terwakili, maka dalam penuangannya membutuhkan kontemplasi yang intens dan mendalam. Konsentrasi ini juga perlu pengayaaan memori akan obyek yang tak kalah penting di samping perbendaharaan kata dan penerapannya agar menjadi lebih mewakili batin para penikmatnya. Penikmat melakukan kegiatan lewat membaca dan menyimak saat dibacakan oleh pembaca, dalam hal ini biasanya yang membawakan adalah penyair.

Beragam tema yang bernuansa di segala pernik kehidupan manusia, suasana alam yang memikat dan  tragedi dari segala sesuatu yang menggejala menjadi sebuah permainan yang mengasyikkan. Permainan yang mengasyikkan merupakan konotasi dari proses mengubaholahkan menjadi bentuk yang harus bisa dan mau tidak mau orang akan penasaran, dan saat membacanya akan merasa terpaku dan ikut larut dalam alur kisah yang selanjutnya akan menyatu dan ikut terlibat dan benar-benar menjadi bagian dari isi puisi tersebut. Dan akhirnya bisa mengambil pelajaran penting dari isinya, karena puisi juga ikut mendidik manusia agar menjadi lebih baik.

Sesaat akan berkecamuk pergulatan menjadi semakin terendus oleh mimpi-mimpi manakala mimpi merupakan bagian tak terpisahkan dari hasrat terpendam, yang kemudian ingin mencuatkannya menuju muara dan memuarakan segala kegundahan yang menggunung. Pada angin mendesau selalu melahirkan gagasan-gagasan orisinal meniupkan pada kanvas-kanvas hidup.

Lantas akan ada pelaku yang sengaja melibatkan diri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari imaji-imaji yang dibangun. Maka  selalu akan ada distorsi yang kuat saat keterlibatannya memasuki ranah pribadi yang seharusnya sebisa mungkin untuk dihindari. Pun yang demikian harus ada batas yang jelas antara menciptakan karya dengan sekedar curahan hati. Namun justru sekarang jadi rancu manakala pergulatan yang intens tersebut tanpa melibatkan pribadi seseorang yang menjadi sumber inspirasi harus diabaikan. Justru akan menghancurkan imaji yang sudah dibangun begitu rupa dan akan sirna dengna sendirinya. Atau bisa jadi, saat rasa terabaikan itu malah menjadi pemicu untuk lebih bisa menuangkannya dalam bentuk dan gaya yang lain sama sekali.

Lalu akan mencari lagi sumber-sumber inspirasi yang lain untuk lebih bisa mengakrabi pergumulan lagi, mencumbunya lagi, menyetubuhi lagi, lalu lahirlah dari janin tadi... sebuah puncak mahakarya paling tidak bagi diri sendiri.

Mahbub Junaedi

Bumiayu, Jumat, 26 Agustus 2011

esai,

Jumat, 19 Agustus 2011

Ada Vibrasi di Bibirmu


saat air mengalir jengah
ada cascade di tengah,
 jatuh mengombak lembut
membasuh di atas genangnnya, para marbut
 ikan-ikan berenang bersama sang faqih
menyentuh dasarnya dalam doa fasih

sudah terlampau jauh mengikuti alurmu
menuju terdampar di sangkarmu
telah tertanam benih rasa sayangmu
mencariku di penantian sanggar cipta
untuk kau ingatkan kembali arah semula

di keyakinanku, titipkan pada malaikat penjaga
mendekap  hati sang mahbub
menyimpan rapatrapat di semat tabut
saat menimangnya, dayangku duduk di lengkung bulan sabit
memulai rasa pertama dan terakhir yang kaumiliki

lalu kaurangkai dalam sajaksajak aksentuatif
tangan menangkup, tengadah pada Al Lathief…
menjawab rasa
melabuhkan jiwa
stanza menghamba di dendang solo
 melantun dalam iringan para virtuoso

melukis di kegelapan nisbi
seperti yang tergambar di mural
tersembunyi di gua kastil tua, terpental
merebak kisah amour yang suci

air itu menghimpun diri
memercikkan rinai gerimis
membasahkan kerudungmu saat mendoa
tiba-tiba ada vibrasi di bibirmu

Mahbub Junaedi
bumiayu, Jumat, 19 Agustus 2011, 09:04:21

cascade  = air terjun kecil
marbut  = penjaga masjid
faqih = ahli hukum agama
mahbub = kekasih (lover)
dayang = lady-in-waiting
tabut = bahtera
solo =  tunggal
virtuoso = ahli pemain (music)
mural = lukisan dinding
amour = asmara yang dirahasiakan
vibrasi = getaran

Jumat, 05 Agustus 2011

Bulan madu di atas pelangi yang tertunda

oleh Mahbub Junaedi pada 05 Agustus 2011 jam 14:55

Saat cinta sudah mencapai kembara di Orion Nebula,
seperti engkau yang menggambarkan dengan runut di setiap detilnya.
Inspirasimu mengalir begitu indahnya,
aku mencium bau wangimu saat dipersinggungan kulit bayimu
begitu lenggangnya menyusuri ritmik yang sudah kau bangun di alurmu.
Kemudian saat aku dinubuatkan dengan seekor camar yang langlang buana
mencari hakikat laut yang adalah penjelmaanmu,
maka ada suatu hubungan yang sinergi saling melengkapi di tiap keselarasan
saat menukilkan ayat-ayat langit, lalu membumikan kembali di haribaannya.

Masih ada jagat yang jauh lebih sepi untuk menepikan cinta
dan harus merogohnya melalui lorong black hole
dan mengendapkannya menjadi Kristal-kristal galaksi yang tumbuhkan kilau
di kejauhan bintang-bintang yang telah lelah mengedip sepanjang malam,
kemudian jatuh ke bumi menjadi butiran embun bergelayut di pucuk-pucuk daun,
 lalu pudar saat sinar surya membuyarkan silau
bahwa menandakan pagi sudah beranjak
membangunkan makhluk-makhluk untuk menyudahi mimpi-mimpinya.

Cara pandang camar yang dirundung cinta adalah keluasan laut tak bertepi,
begitu menggeloranya seperti degup jantung yang alot
begitu menggelegakkan gelombang yang menggulung dan berkejaran,
seperti sedang pamer pada camar tentang aurora dengan kabut warnanya
yang ingin meluluhkan kekerasan hati camar
sedang waktu itu kau putuskan menepikan rasa cintamu
hanya pada camar di malam yang sedang purnama-purnamanya,
bulan adalah penghulu yang siap menagih ikrar
yang harus terucap saat itu juga,
karena takkan ada lagi full moon di malam-malam mukadimah

Dawai yang menyayat itu menderit seperti gesekan ranting pohon
pada daun kering melengking di kejauhan
saat camar tertidur dalam usapan angin hangat
yang sengaja terbawa bersama alunmu yang membuih seputih awan.
ditingkahi denting piano alto di atas tebing karang
malaikat memainkannya seperti  irama ketandusan padang pasir,
teriring hentakan perkusif bunyi rebana,
suara satu huruf vocal menggema panjang dalam waktu tertentu
akhirnya melirih ditelan kesunyian saat malam beranjak larut…
sesekali timbul lagi dan lalu lenyap sama sekali.

Ada seruling melantun miris sedang melipat-lipat pelangi
yang terlambat datang di malam hari menjadi warna-warna dominan gelap,

kerlip lampu disco menyentakkan batin di hamparanmu, laut,
camar meliuk-liuk saat anggurmu sudah terteguk di sloki yang kesekian
yang terakhir tumpah di busana, Dior-mu menebarkan mabuk
 juga karena anggunmu.
Saat itu teringat bulan madu yang tertunda di atas pelangi

Mahbub junaedi
Kaligua di suatu pagi, August 4, 2011

Selasa, 19 Juli 2011

segampang itu

oleh Mahbub Junaedi pada 18 Juli 2011 jam 11:53

segampang kau paling muka
semudah itu memadah
lalu kau diamdiam sembunyi
atau menghindar?

kemarin kau antusias menyambut aku
menyapa di selasela lupa
seperti merindu mencipta luka
memaksa aku larut dalam terpaku

degup jantung terbentur bebatuan
gemuruh ini memeram dendam
sekarang kau berpaling, puan
menghindar saat bersua kau sulam

sekejap kau menatap
bermanis kata dalam hiba
memuja desirkan jiwa
lalu kau cepat terlelap

kau yang membangun cinta lalu meruntuhkannya, memusnah harapan di pintal terakhir, memaksa aku memahat luka, mencampaknya di ranting rapuh, luruh menjadi debu di angin kebisuan, padang savana kian garing, ikanikan terkapar di karang, matahari menghanguskan diri, menjadi jelaga gulita, melata menggusur bumi, memasivkan, maknamakna tak lagi bertuan,

tak merindukan?

seperti saat menunggu aku datang kau menyapa dulu lalu kubalas dengan bibir kering dengan memaksa senyum walau getir tetap saja aku waswas kau akan cepat membosan dan janganjangan kau lenyap tanpa memberi aku tanda atau sebuah kenangan unutk kuingat...atau kau tak ingin dingat lagi

tanpa berbekas?

Minggu, 17 Juli 2011

aku masih menghiba di ketakberdayaanku

oleh Mahbub Junaedi pada 16 Juli 2011 jam 10:38

dini hari tadi
malaikat menunggui tidurku
karena selalu ada harapan
aku akan bangun

sebab akupun seperti keranjingan bangun malam
malaikat seolah penggemar setiaku

aku masih pulas
malaikat tak sabar menunggu aku bangun
lalu menggugahku
aku menggeliat, arrrggghhh
hmmmm


lalu aku ambil air wudhu

Kamis, 14 Juli 2011

luh luhku


oleh Mahbub Junaedi pada 22 Juni 2011 jam 15:54
 
mbanyumili luhku
saat trenyuh ini njeroati
begitu mendengarmu lara
laraning sliramu juga aku
mau kemanakan alir luh ini?
luh yang mengerak tebal di pipiku
sudah sedari dulu hanya camar yang mencipta laut dari luhnya
merembeslah hingga membandang menghanyutkan dukaduka
sebab di setiap pusaran laut yang membadai ada rintihan yang sangat menyayat, merindu sangat

lalu camar bergumam...'adakah aku berlebihan?'


*mbanyumili (jawa) =mengalir
*luh (jawa) = air mata
*trenyuh (jawa) = sedih
*njeroati (jawa) = di dalam hati
*laraning sliramu (jawa) = sakitnya kamu

kemana lagi


oleh Mahbub Junaedi pada 24 Juni 2011 jam 18:13
 
haruskah mulai memapar apa yang ada di benakmu?
sebab semua masih harus sembab oleh basah kemarin
masih segar ingatan saat kau mengusung diri
berpasrah diri dalam pelukku
mimpikan ...mimpikan aku mas...
begitu kau mendamba
aku tak tahu harus memaling ke mana lagi
sedang di depanku kau begitu menabur rona
saat jumpamu kau begitu yakin
aku ingin mengetuk jiwa misteriusmu
adakah yang kau maksud
tentang perkenalan singkat ini
sebab sudah lazimnya kau menguak diri
telanjang diri demi aku
maukah kau tunjukkan sesuatu yang kau inginkan dariku
agar jelas semua yang inginkan dalam pencapaianmu
tolong.... sampaikan bidikmu di relungku yang kering ini
agar basah yang kemarin mampu lunakkan jiwaku
menerimamu.....

kau


oleh Mahbub Junaedi pada 25 Juni 2011 jam 11:22
 
ingatkah rumput ilalang mulai kering
karena tetes hujan tlah lama tak turun
sebab daundaun mulai meranggas lagi
ignatkah bila embun taklagi menghiasi pagi
saat memandangpun hanya gersang,,,
pagiku tak sejuklagi
pagiku hilang
kemanakah?
ingin kujejak lagi
kecipak air yang dulu sering menggenang di halaman dangau
demi menghirup pelangi yang kerap memayung cahaya
hanya kerontang gugurkan daundaun
yang melayanglayang terhembus angin asing
lalu rebah perlahan dan koyak oleh pijakan kakikaki
kau
mampukah sirami
kucuri dengan tangismu....

mengunyah duka


oleh Mahbub Junaedi pada 26 Juni 2011 jam 12:03
 
sadar akan geliat yang tak kuduga
terbangun ini belum pada saat yang aku inginkan
seperti kemarin kau memanggil aku di kemarau tak seberapa
padahal sekarang sudah kemarau yang benarbenar kering

membaca dirimu
adalah melihat jiwamu yang penyendiri
sudah aku mencoba dobrak pintupintu berkarat
dan terkuak itu meninggalkan derit memekik

dan hanya kujumpa kau terkungkung memeluk lutut
rambutmu lusuh dalam wajah memucat ringkih
kudekati kamu, beringsut takut
telunjukmu menusuk syaraf mataku

lalu kuyakinkan sambil kutimang hatimu yang masih merah
sambil kucabut bulucamarku di sayap patah
mengusapkan pada sisi hatimu yang lain
dan kau seperti merinduinya sejak lama

sejak kau tampak melaut kembali dalam wajah birumu
terus saja mendegupkan detak jantung yang dulu hampir terhenti
aku ingatkan itu saat kau semakin menyudut di pojok dinding karang
lalu kau sedikit mengintip dari sudut matamu yang mulai sembab

dermaga itu melabuhkan biduk yang dulu
yang kini kandas karena kering itu belum juga usai
akankah harus padang gersang?
sebab jejak itu menemukan air mata menderas

seperti yang kau memilin luka
hanya ingin menangguk duka
dan aku mulai jeda

Cerita yang tak akan usai


oleh Mahbub Junaedi pada 28 Juni 2011 jam 12:26
 
mampukah aku kehilangan kata-kata?
saat beruntun tak ada tempat untuk mampir
terpaksa aku lanjutkan lagi menguntai
kau takkan mampu melambatkan langkahku
atau menghadang di depanku sambil merajuk
sebab waktuku tak cukup buat jeda yang tak pasti

seperti saat kau kalangkabut meladeni dongeng dongeng hayalku
karena kau bersikeras tak yakin dengan kemungkinan terburuk
sebab kemungkinan terbaik itu sudah kau dekap erat erat
aku tetap saja ingin melanjutkan yang sudah kau ajari kemarin sore
saat kau sedang duduk santai menikmati secangkir teh manis

seperti mendongeng para pelamun maya
yang ketakutan saat menjadi kasat mata
sebab kejumpaan itu seperti kerinduan tapi ada rasa takut
setelah itu kau akan tak kenal lagi
sebab kau masih terpaut antara jarak yang sulit kujangkau

cobalah kau simak
atau kau pikir
pasti aku ini tiada
karena ketiadaan itu tak ada jumpa

akankah akan bersentuhan
saat ada bulubulu kulitku berdiri


(camar itu saat kepada laut)

aku pungut di setiap samarmu


oleh Mahbub Junaedi pada 07 Juli 2011 jam 10:51
 
aku pungut di setiap hari
bongkahan matahari
menaruhnya di sudut hati
agar ada kehangatan
dan aku hangus
di pelukan

saat menangguk
selembar angin
aku kedinginan
memeluknya
ternyata ada salju
yang bergelayutan menguntai
seperti roncean melati

malam
tak lagi sehangat sinar  temaram
sebab ada tabir mega
mengembang menjadi kelambu ranjang
namun membisu
menikam jantung rembulan...

hanya ada kehilangan pijakan
setapak yang kabur
menyamarkan arah
menuju ujung pikiran buntu
terkubur pasir pasir bening
menghampar di pantai kebimbangan



mahbub junaedi

bumiayu

maryam


oleh Mahbub Junaedi pada 02 Juli 2011 jam 12:30
 
maryam takut nanti ada fitnah
sebab melahirkan bocah suci tanpa bapa
sedang maryam belum terjamah
sedang Kekasihnya lebih Maha Tahu dan Kuasa

sekalipun tumbalnya fitnah Tuhan mensetubuhimu maryam
dan merekapun mengagungkan Kekasihmu dengan cara lain
bahwa itu cara tuhan mendekatkan diri pada umatnya

Kekasihmu menenangkanmu,
bahwa Dia bisa berbuat segala sesuatu yang manusia tidak mungkin,
tetapi bagi Kekasihmu pasti terjadi...
seperti Adam dan Hawa
seperti anakmu bisa menghidupkan orang

karena sematamata kehendak tak ternbantah Kekasihmu maryam
lalu maryam tertunduk penuh takzim

Puan di Sangkar Emas


oleh Mahbub Junaedi pada 03 Juli 2011 jam 13:30
 
duhai sang pemilik wajah teduh
sesaat kau yang rapuh
sedang engkau bersanding harta
menyemai diri di keranjang hampa

kau sebut Siti Nurbaya
masihkah kisah nan berlaku di ujung jaman?
tiada yang melipur hanya berlinang di dunia maya
tentu saat kau meminta sambil berlari
melenyapkan gambaranmu menghindar diri

aahh negeri Jiran penuh kisah seribu derita
para puan yang terpenjara
merintihlah engkau saat kehilangan matahari
merindu pada embun
pada gulitanya malam yang abadi
semakin terkungkung sunyi

ada trauma di matamu
sebut kisah Manohara di Negeri Kelantan
duhai para puanpuan di sangkar emas
engkau bukan burung yang setiap saat hanya berkicau

kegundahan akan hati ingin bebas
menghirup sejuknya udara yang dulu pengap
Daar Al-Salam benarkah negeri penuh salam damai?
puanpuan yang elok terpasung di permata yang melingkarinya

duhai engkau yang menghiba
sungkan aku melucuti belenggumu  segunung batu
hanya ada sekelumit nasihat

perbuatlah dirimu kuat...

mungkin ini yang kumaksud


oleh Mahbub Junaedi pada 10 Juli 2011 jam 10:42
0

aku menunggu
untuk sebuah bunyi
untuk sebuah suara
saat air menetes di ruang kosong

:)

kendaraan terakhirmu adalah keranda
yang siap menghantarmu
ke rumah duka

:))

bulir padi menjadi emas
berhamparan memanggil
menggharap petani jangan enggan memanennya

:)))

cinta selalu ingin sisyi'arkan
mencipta ilusi ganjil
seperti menulis dengan tinta hitam di dalam gelap

:))))

dua jam dinding berbisik
dalam sandi yang rumit
detak detik detak detik detak detik detak detik.....
sampai aku pingsan

:)))))

kabar terakhir kamu terputus
aku kehilangan tongkat
dan duduk di kursi roda

:))))))

dulu kau sembilan tahun saat menikah
sekarang anakanakmu sudah beranjak dewasa
dewasamu di usia muda
memacu berpikir

:)))))))

tubuh yang tambun
saat berjalan terseok
seluruh dagingmu bergoyang
mengombak saling berlawanan
bermata air keringat di lipatannya

:))))))))

ada kota dan jembatan berjalan di bus
ada wanita telanjang bersandar di pintu truk
ada banyak lubang peluru di pintu mobil


aku mencari samudra dan matahari

hujan di sela kering


oleh Mahbub Junaedi pada 13 Juli 2011 jam 18:49
 
bianglala menembus ufuk langit melengkung
hampir menyatu dalam bumi
warnamu yang membias oleh kristal air
yang menitik di debu kering, hilang ditelan kalis

tanpa meresap,
tetapi menggumpal menjadi gelembung
yang memekat di sela rekahan tanah, menganga...

hari ini hujan sebentar,
kemudian kabur terbawa derai angin
mengkabutkan bulirbulir yang mengembun, sramun...

lalu akankah berharap hujan akan deras
menghijaukan rumpun yang terlanjur meranggas mengering diri,
karena mengira kemarau akan sangat panjang
padahal dingin ini tak cukup meyakinkan
bahwa di selaselanya hujan akan turun, walau hanya setitik

sebentar kemudian akan membasah tanah ini,
selagi belum benarbenar tandus, sedemikian yakinnya?
sembari menghela nafas berat aku tersenyum
dengan pohonpohonku yang menunda layu, sedari tadi

matahari ternyata tak begitu terik memekik siang,
karena awan gemulung mencipta tabir sinarnya
sesenggukan embun luluhkan di dedaunan
saat memberat menetes lirih di setiap menitisnya, pada esok hari

puan, elokmu
di sendirimu

mahbub junaedi

bumiayu

Memekikmu


oleh Mahbub Junaedi pada 29 Juni 2011 jam 12:14
aku menafasimu
kau tergagap
sudah, sungguh sudah ada aliran udara di pucuk hidungmu yang mengembang
sebab mimpi tadi seperti itu
endusku membaui wangi lautmu
seperti pasir putih yang enggan hanyut
 hanya ingin menjaga beningmu

aku melucutimu
kau terperangah
sungguh ada keindahan polos di lautmu yang membentang di setiap aliran jalan pikiran
sebab hanya awan seperti itu
ada bingkai memfigura hati yang tertahan janjimu
sudah fasih karang membaca gerak ombakmu
birumu masih sisakan samar terawangmu

buihnya kecipak kaki di reremah pasir
hanya bunyi yang masih terlalu dini
camar sebentar lagi memagut ikan di pusarmu
lalu menyelam dalam perutmu yang sebenarnya sedang buncit tua
sesekali kaupun kelelahan menimangnya

untaian karagenan kecoklatan
menumpuk di sampan yang kau dayung
lalu kalungi laut saat perhelatan kenduri sedekah laut
tapi kau menolak kepala kerbau
karena mulutnya suka bicara serampangan
hanya ingin menidurkan ombak
agar untaian tak terpental
atau saat kau pungut untuk menjamasnya
ada kharisma yang mulai kusut
sebab waktu hampir surut

lalu kau memanggil angin
alihkan alir yang menggugah ombak
lalu kau leluasa mencabik jurai
seringaimu puas
saat nelayan merangkai senyum
ditingkahi pekik camar mengitarimu

Manik manik Maya


oleh Mahbub Junaedi pada 02 Juli 2011 jam 11:45
 
dalam maya yang tak terjamah
jangkauan itu masih dalam sekepal mimpi
mendekapnya dalam sesenyap sunyi
atau bicarabicara yang meracau
selami benak di genangan sembabnya keringat basi

maya menyimpan sebongkah ingin
memupuk harap telah mengkristal
kegelisahan janji
melantipkan mata
telusuri mukamuka tersembunyi

menyimpan tanya
akankah titian menghamparkan diri
menggelayutkan jumpa

tubuhtubuh bersisentuh
mengusung trenyuh
dentuman irama jimble
getar membran ini rawan pecah

mengukirmu mencipta lekuk erotis
memapah bayangmu yang kau lunta
menggunturlah jerit laramu
saat pahat menancap dalamdalam

semua dalam rangka ego khayali
setiap laku semau aku
kau terseret arus nafsuku
merontamu sangat menyesakkan

seruling menyayat
di setiap denting siter para papa
melantunlah sinden di padang gersang
melelehkan keringat di sela kemben

ronggeng perawan kelelahan
menyibak sampurpun tak sampai
menggayutlah di leher lelakimu
pintamu memelas

mayamaya mengusung buta
memasihkan mimpimimpi

mulai  lebamlebam
saat bergumul membilurlah kelaminkelamin

memerahnya pagi
bercampur darah semalam

buih buih asin


oleh Mahbub Junaedi pada 06 Juli 2011 jam 11:44
selalu wajah polos lautmu yang kau suguhkan ke aku
setiap saat berlalu lalang memainkan bola mataku menarinari
dada mendeburdebar....... gemuruhmu mendengung memenuhi labirin
aku camar ke kamu laut
ke aku kau laut meliuki camar
meniupkan sangkakala melengking dahsyat meneriaki kiamatku
saat kegundahan yang membahanakan kelelakian camar pada laut

semburat itu purba di senja temaram kuliti langitlangit
meronamu goreskan luka liku laki
melupa aku pada kemudi kapal terkatungkatung di kandungan palung
menadahlah setangkup telapak dari kucurmu kucurlah mencurah lungkrah
camar telah memar
cantiknya terbang melintas awan bergelut petir melilitkan kilatkilat batin

sandingsanding tak jua menyatu duhai perekat itu tak kunjung meliat
mencicipi buih asin di sela bibirmu yang meranum di karang atol
tetap saja menunggu engkau bangun sambil mengggeliat
meluruhkan selimutmu yang semalam memerahkan simbol

hanya tak jua menepi menggali mimpi
masih jauh pantai saat aku singgah untuk menuntasi
semoga ada dermaga yang kokoh untuk bertambat
berbaring meredam janji bersanding shalawat



mahbub junaedi
bumiayu

jangan aku, kau tinggalkan

 

oleh Mahbub Junaedi pada 08 Juli 2011 jam 10:57

 
aku ingin kau berdiam lebih lama lagi
menunggu senja rebah di ufuknya
membaringkan aku di pucuk daun tempat embun bergelayut
membisiki dinding besi

hanya tinggal kau menyiram batu cadas
berharap bersemi pohon yang kau tanam kemarin

selalu ingin kau sembunyi menunggu
karena tak ingin aku beranjak pergi
meninggalkan sepasang tapak basah
tempat kau menangkup tetes air
menghirupnya dengan mulut keringmu
meneguknya bersama pasir putih yang mengendap

semudah itu kau rindu
sebab aku belum sekejap beranjak di kembaraku
menelusuri akar batinmu

demi engkau mengais masa
menimang tangismu saat terpenjara lara
aku memelukmu, tapi kau lebih suka pelukan Kekasihmu Yang Agung
sekalipun terkungkung merinduiku

sekejap kau ingin
sekejap kau mengusung luka

aku melipur dengan syair tanpa makna
hanya bualan serapah

wahai akankah engkau kucurkan beningnya air mata di mulutku?
menjadikanku melahir syairsyair
akan kemanakah setelah itu
akan terbengkalai tertiup angin hingga mengering?

andai aku juga setegar hati karangmu
justru kau bilang hatimu rapuh

memintaku dibangunkan karang yang lain
menancapkan buihbuih
sambil melafal ayatayat di pasaknya
selalu Kekasihmu kau junjung di setiap ujung lidah sucimu

aku sembunyi di kolong katilmu
menantimu menjemput aku