Entri Populer

Sabtu, 27 Agustus 2011

Esai: Ada Ruh Yang Bergerak Dinamis

oleh Mahbub Junaedi pada 26 Agustus 2011 jam 22:18

 
Merujuk saat mengkhusukkan diri menulis puisi, maka kebebasan ini seperti tak berbatas. Proses kreatif  berjalan dengan melenggang seperti melucuti beban yang mengganjal. Bermain dengan kata-kata yang mengasyikkan, memilah-milahnya menjadi padu padan meng’indah’kan jagad alam perpuisian itu sendiri. Ada  ruh yang bergerak dinamis memenuhi relung-relung kosong untuk bisa terisi oleh sesuatu yang membutuhkan dorongan yang sangat kuat. Selagi ruh itu tak mati, imaji akan terus bergerak mencari sarana yang menempati  ruang mediasinya. Ada gagasan mencuat untuk dijabarkan dengan segudang kata dalam bait-bait. Menterjemahkan impuls atau desakan hati dengan tindakan dan mengolah kembali dalam kalimat yang sarat makna.

saat proses sedang berlangsung, maka akan ada kebutuhan untuk  pemenuhannya dan akan tertuang pada wadah yang tepat. Wadah yang bisa mewakili segenap pergulatan batin ini menjadi suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi, agar dapat dibaca untuk memperkaya nuansa batin yang tadinya kosong dan hambar. Dahaga yang merindukan kejernihan dan siraman yang menyejukkan, dan merupakan media yang menjadi katarsis atau perasaan terharu sehingga segala upaya menjadi tersampaikan pada sidang pembaca dan penikmat dengan segala atribut penyampaiannya.

Mengingat bahwa pergulatan batin ini seperti terwakili, maka dalam penuangannya membutuhkan kontemplasi yang intens dan mendalam. Konsentrasi ini juga perlu pengayaaan memori akan obyek yang tak kalah penting di samping perbendaharaan kata dan penerapannya agar menjadi lebih mewakili batin para penikmatnya. Penikmat melakukan kegiatan lewat membaca dan menyimak saat dibacakan oleh pembaca, dalam hal ini biasanya yang membawakan adalah penyair.

Beragam tema yang bernuansa di segala pernik kehidupan manusia, suasana alam yang memikat dan  tragedi dari segala sesuatu yang menggejala menjadi sebuah permainan yang mengasyikkan. Permainan yang mengasyikkan merupakan konotasi dari proses mengubaholahkan menjadi bentuk yang harus bisa dan mau tidak mau orang akan penasaran, dan saat membacanya akan merasa terpaku dan ikut larut dalam alur kisah yang selanjutnya akan menyatu dan ikut terlibat dan benar-benar menjadi bagian dari isi puisi tersebut. Dan akhirnya bisa mengambil pelajaran penting dari isinya, karena puisi juga ikut mendidik manusia agar menjadi lebih baik.

Sesaat akan berkecamuk pergulatan menjadi semakin terendus oleh mimpi-mimpi manakala mimpi merupakan bagian tak terpisahkan dari hasrat terpendam, yang kemudian ingin mencuatkannya menuju muara dan memuarakan segala kegundahan yang menggunung. Pada angin mendesau selalu melahirkan gagasan-gagasan orisinal meniupkan pada kanvas-kanvas hidup.

Lantas akan ada pelaku yang sengaja melibatkan diri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari imaji-imaji yang dibangun. Maka  selalu akan ada distorsi yang kuat saat keterlibatannya memasuki ranah pribadi yang seharusnya sebisa mungkin untuk dihindari. Pun yang demikian harus ada batas yang jelas antara menciptakan karya dengan sekedar curahan hati. Namun justru sekarang jadi rancu manakala pergulatan yang intens tersebut tanpa melibatkan pribadi seseorang yang menjadi sumber inspirasi harus diabaikan. Justru akan menghancurkan imaji yang sudah dibangun begitu rupa dan akan sirna dengna sendirinya. Atau bisa jadi, saat rasa terabaikan itu malah menjadi pemicu untuk lebih bisa menuangkannya dalam bentuk dan gaya yang lain sama sekali.

Lalu akan mencari lagi sumber-sumber inspirasi yang lain untuk lebih bisa mengakrabi pergumulan lagi, mencumbunya lagi, menyetubuhi lagi, lalu lahirlah dari janin tadi... sebuah puncak mahakarya paling tidak bagi diri sendiri.

Mahbub Junaedi

Bumiayu, Jumat, 26 Agustus 2011

esai,

Jumat, 19 Agustus 2011

Ada Vibrasi di Bibirmu


saat air mengalir jengah
ada cascade di tengah,
 jatuh mengombak lembut
membasuh di atas genangnnya, para marbut
 ikan-ikan berenang bersama sang faqih
menyentuh dasarnya dalam doa fasih

sudah terlampau jauh mengikuti alurmu
menuju terdampar di sangkarmu
telah tertanam benih rasa sayangmu
mencariku di penantian sanggar cipta
untuk kau ingatkan kembali arah semula

di keyakinanku, titipkan pada malaikat penjaga
mendekap  hati sang mahbub
menyimpan rapatrapat di semat tabut
saat menimangnya, dayangku duduk di lengkung bulan sabit
memulai rasa pertama dan terakhir yang kaumiliki

lalu kaurangkai dalam sajaksajak aksentuatif
tangan menangkup, tengadah pada Al Lathief…
menjawab rasa
melabuhkan jiwa
stanza menghamba di dendang solo
 melantun dalam iringan para virtuoso

melukis di kegelapan nisbi
seperti yang tergambar di mural
tersembunyi di gua kastil tua, terpental
merebak kisah amour yang suci

air itu menghimpun diri
memercikkan rinai gerimis
membasahkan kerudungmu saat mendoa
tiba-tiba ada vibrasi di bibirmu

Mahbub Junaedi
bumiayu, Jumat, 19 Agustus 2011, 09:04:21

cascade  = air terjun kecil
marbut  = penjaga masjid
faqih = ahli hukum agama
mahbub = kekasih (lover)
dayang = lady-in-waiting
tabut = bahtera
solo =  tunggal
virtuoso = ahli pemain (music)
mural = lukisan dinding
amour = asmara yang dirahasiakan
vibrasi = getaran

Jumat, 05 Agustus 2011

Bulan madu di atas pelangi yang tertunda

oleh Mahbub Junaedi pada 05 Agustus 2011 jam 14:55

Saat cinta sudah mencapai kembara di Orion Nebula,
seperti engkau yang menggambarkan dengan runut di setiap detilnya.
Inspirasimu mengalir begitu indahnya,
aku mencium bau wangimu saat dipersinggungan kulit bayimu
begitu lenggangnya menyusuri ritmik yang sudah kau bangun di alurmu.
Kemudian saat aku dinubuatkan dengan seekor camar yang langlang buana
mencari hakikat laut yang adalah penjelmaanmu,
maka ada suatu hubungan yang sinergi saling melengkapi di tiap keselarasan
saat menukilkan ayat-ayat langit, lalu membumikan kembali di haribaannya.

Masih ada jagat yang jauh lebih sepi untuk menepikan cinta
dan harus merogohnya melalui lorong black hole
dan mengendapkannya menjadi Kristal-kristal galaksi yang tumbuhkan kilau
di kejauhan bintang-bintang yang telah lelah mengedip sepanjang malam,
kemudian jatuh ke bumi menjadi butiran embun bergelayut di pucuk-pucuk daun,
 lalu pudar saat sinar surya membuyarkan silau
bahwa menandakan pagi sudah beranjak
membangunkan makhluk-makhluk untuk menyudahi mimpi-mimpinya.

Cara pandang camar yang dirundung cinta adalah keluasan laut tak bertepi,
begitu menggeloranya seperti degup jantung yang alot
begitu menggelegakkan gelombang yang menggulung dan berkejaran,
seperti sedang pamer pada camar tentang aurora dengan kabut warnanya
yang ingin meluluhkan kekerasan hati camar
sedang waktu itu kau putuskan menepikan rasa cintamu
hanya pada camar di malam yang sedang purnama-purnamanya,
bulan adalah penghulu yang siap menagih ikrar
yang harus terucap saat itu juga,
karena takkan ada lagi full moon di malam-malam mukadimah

Dawai yang menyayat itu menderit seperti gesekan ranting pohon
pada daun kering melengking di kejauhan
saat camar tertidur dalam usapan angin hangat
yang sengaja terbawa bersama alunmu yang membuih seputih awan.
ditingkahi denting piano alto di atas tebing karang
malaikat memainkannya seperti  irama ketandusan padang pasir,
teriring hentakan perkusif bunyi rebana,
suara satu huruf vocal menggema panjang dalam waktu tertentu
akhirnya melirih ditelan kesunyian saat malam beranjak larut…
sesekali timbul lagi dan lalu lenyap sama sekali.

Ada seruling melantun miris sedang melipat-lipat pelangi
yang terlambat datang di malam hari menjadi warna-warna dominan gelap,

kerlip lampu disco menyentakkan batin di hamparanmu, laut,
camar meliuk-liuk saat anggurmu sudah terteguk di sloki yang kesekian
yang terakhir tumpah di busana, Dior-mu menebarkan mabuk
 juga karena anggunmu.
Saat itu teringat bulan madu yang tertunda di atas pelangi

Mahbub junaedi
Kaligua di suatu pagi, August 4, 2011